Revenge - Bab II
Bab II
Beberapa tahun kemudian
*Pletak*
“Aw! Apa yang kau lakukan!?”
“Hah? Yang kulakukan?”
Mereka duduk bersebelahan, di bukit tempat mereka
bermain saat kecil. Sampai sekarang tempat itu menjadi tempat favorit mereka.
Bukan tanpa alasan, bukit itu satu-satunya tempat yang bisa mereka temukan
untuk bersantai ria.
Tidak banyak tempat seperti itu yang tersisa. Tentunya
untuk para pribumi.
Penjajah atau bangsawan telah mengambil alih
segalanya. Segalanya hingga pribumi tak bisa lagi menikmati tanah mereka
sendiri.
“Ya, apa yang kau lakukan? Erik”
“Aku cuma menyadarkanmu dari MD, Rian” jawab Erik penuh percaya diri.
“MD? Apaan itu? kenapa kau harus memukul
kepalaku?”
Dia tau, Erik lebih cerdas darinya. Ia salah satu pribumi
yang punya hak eksklusif untuk bersekolah, mengakses internet dan fasilitas
lainnya. Sebuah hal yang tak mungkin dirinya miliki.
Jika Erik setiap pagi bersekolah, dirinya kadang
akan pergi ke bukit ini. Berlatih setiap saat, mencoba menjadi lebih kuat.
Semua pribumi pasti ingin mengambil hak mereka
kembali. Menentang adanya penjajahan. Menuntut penegakan hak asasi manusia. Itu
yang Rian tangkap dari segala yang Erik katakan sebelumnya.
Erik mulai mengangkat telunjuknya, matanya
berbinar-binar. Bersemangat sekali tak seperti Rian. Ia malah seperti tak
peduli dengan Erik.
Rian tau, jika Erik mulai mengangkat telunjuknya.
Sebuah ceramah tingkat tinggi akan segera dimulai. Saat itu juga otaknya akan
dipaksa berpikir. Kadang ia bisa mencernanya dan kebanyakan tidak
mengerti sama sekali.
“MD – Maladactive Daydreaming. Sebuah gejala
dimana seseorang akan mulai membangun dunia khayalannya sendiri. Disana dia
akan berperan sebagai tokoh utamanya, dan melakukan segala yang ia mau.
Mudahnya kita menyebutnya sebagai berkhayal atau melamun. Dan itulah kenapa aku
memukul kepalamu. Itu salah satu cara untuk
menyadarkanmu alias membawamu kembali ke kenyataan yang pahit ini.”
Erik menjelaskannya dengan cepat, tak banyak jeda
terjadi. Setelahnya Erik tertawa. Rian menatapnya dingin.
“Peduli” balas Rian singkat.
Erik malah makin tertawa.
~Sebenarnya apa yang lucu?
“Sudahlah, aku ingin pulang” ucap Rian.
Ia bangkit, meninggalkan Erik yang masih tertawa.
“Hey, tunggu aku!!” teriak Erik, sadar temannya
telah meninggalkannya begitu saja.
Rian berhenti, menatap kebelakang. Erik merapihkan
bukunya dan memasukkannya kedalam tas.
Dia berlari kecil menyusul Rian.
Erik malah meluncur jatuh. Kehilangan keseimbangan
saat menuruni bukit. Dia tak sengaja menyenggol batu.
Rian tertawa melihat kekonyolan temannya itu.
Erik terlihat malu. Ia bangkit dan menepuk-nepuk
pakaiannya. Seragam sekolah khusus pribumi, pakaian yang ia kenakan.
Hak khusus yang Erik terima adalah hasil usaha
ibunya. Ibunya memiliki kecerdasan yang luar biasa dibanding pribumi lainnya. Para
bangsawan memanfaatkan hal itu dan menjadikannya guru private anak – anak
mereka. Dengan begitu Erik dapat mengerti ilmu dasar sekolah. Tapi itu tak mengubah statusnya yang pribumi.
Ia tetap memiliki batasan dalam hal akses fasilitas serta pengawasan tinggi
dari bangsawan.
Hal normal bagi bangsawan melakukan hal itu.
Mereka tak mau para pribumi yang telah belajar di sekolah, nantinya memberontak
dan menuntut hak mereka.
Jadi ilmu yang Erik pelajari pun tak sebanding
dengan apa yang anak bangsawan pelajari. Istilahnya mungkin seperti langit dan
bumi. Erik tetap tidak berhenti, ia punya
ibunya yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi.
“Seharusnya kau lebih berhati-hati dengan seragam
itu.” kata Rian sambil mendekati Erik.
“Ah, tenang saja. Ini tak masalah.”
“Terserah kau sih, kalau begitu ayo pulang. Kita
tak bisa berkeliaran lebih dari jam ini” ajak Rian.
16:00, angka yang ditunjukkan jam tangan digital milik Erik. Dia tau,
pribumi tak boleh berkeliaran lebih dari jam 5 sore. Itulah aturan.
Akhirnya mereka berjalan menuruni bukit. Menuju
tempat tinggal mereka.
RESIDENSI 13
Nama tempat tinggal mereka, terpampang besar di
gerbang masuk kota. Tak
terlalu jauh dengan bukit tempat favorit mereka. Dari bukit pun, mereka bisa
membacanya.
Sudah belasan tahun sejak negara koalisi itu
menjajah negeri ini. Dengan mudah mereka mengubah nama-nama daerah yang ada
sebelumnya. Pribumi tak bisa berbuat banyak.
Jika ada yang menyebut nama lama suatu daerah, mereka akan
dihukum oleh para bangsawan. Erik
atau Rian juga tidak mengetahui nama asli daerah mereka.
Kekejaman yang terjadi bukan hal aneh di kota ini.
Tidak, bukan cuma kota ini. Namun seluruh
negeri ini.
Residensi 13, daerah termaju dan terpadat di
antara residensi lainnya. Dulunya,
ini adalah ibu kota negara. Wajar jika lebih maju dibangding residensi lain.
Bangsawan paling berpengaruh pun banyak tinggal disini.
Rian dan Erik melintas pelan. Melewati beberapa
blok perumahan kecil.
Tenang dan sepi. Para pribumi pastinya sudah
kembali ke rumah mereka saat ini.
Tak ada yang aneh dengan tata letak bangunan di
kota ini. Semuanya rapih dengan rumah-rumah yang berbaris. Diikuti jalan yang tak memusingkan. Rumah-rumah
yang bagus sebenarnya, tidak terlalu besar. Cukup untuk menampung keluarga
kecil di dalamnya. Kondisi
sosialnya saja yang mengkhawatirkan.
Terlalu banyak aturan yang mengekang.
Mereka tidak tinggal di tempat itu. Karena
keberadaan Rian harus agak di sembunyikan. Jadi mereka tinggal di tempat ‘ter-kumuh’ di kota itu.
Sebuah gedung tinggi mulai terlihat berjejer di depan mereka.
Mereka tinggal di salah satu gedung itu. Sebenarnya
bukan tempat terkumuh, malah itu adalah tempat ternyaman di kota ini. Tapi,
pribumi lain tak setuju dengan itu. Gedung-gedung itu tempat tinggal para
bangsawan. Lumayan tinggi, sehingga bisa dilihat
dari jauh.
Bangunan besar lainnya adalah fasilitas bagi
bangsawan. Ada bank, taman, mall dan semua yang mereka inginkan ada disana.
‘Apa sih yang tidak ada disini’
Slogan yang pernah Erik dengar dari ibunya. Dan ibunya
mendengarnya dari para bangsawan.
Langkah mereka berdua terhenti. Menyadari jika
mereka akan masuk ke daerah berbahaya. Berbahaya bagi mereka yang punya
hubungan dengan bangsawan. Apapun itu hubungannya.
Mereka hanya perlu melintasi jalan tua dengan
gedung setengah hancur di kedua sisinya. Hal itu seperti gerbang menuju rumah
mereka. Tak ada dinding penghalang antara
kawasan bangsawan dan pribumi. Bangunan-bangunan tua yang mengelilinginya sudah
cukup untuk membedakannya.
“Erik, seharusnya kau tak perlu bersamaku. Kau
tau?” ucap Rian memecah keheningan diantara mereka berdua.
“Tenang saja, kita sudah berkali-kali melewatinya”
balas Erik. Ia melangkah maju, diikuti Rian.
Jalan itu berjarak beberapa puluh meter, tak
begitu jauh.
*Dak*
Suara batu mengenai kepala Rian.
Rian mulai menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha
tenang, tidak bereaksi berlebihan.
Ada Erik bersamanya – lagi
pula ia sudah terbiasa dengan hal ini.
“Hei kau, bangsawan keparat!!” teriak seorang remaja
seumurannya. Ia berada di depan gedung tua itu.
Rian melanjutkan langkahnya, tak merespon. Erik
mengikutinya dari samping. Mereka berjalan melewati remaja yang masih
melemparkan batunya.
“Hentikan bodoh!!” ucap remaja lainnya. “Dia bukan
bangsawan, kau tau!?” lanjut remaja itu memberitahu rekannya yang berhenti
melempar.
~Hanya beberapa meter lagi.
Sebenarnya jalan itu akan mudah dilalui dengan
berlari. Tapi itu hanya membuat Rian merasa seperti pengecut. Terlebih semua
latihannya jadi tak berguna.
“Hah!? Bukan bangsawan? Apa maksudmu? Liat saja
rambutnya, jelas sekali itu rambut para penjajah” balas remaja satunya tak
terima dengan penjelasan temannya.
“Dia pribumi seperti kita, tapi DIA ANAK HARAM!!”
jawab remaja lainnya. Sengaja berteriak pada bagian akhirnya, memancing Rian
untuk berkelahi lagi.
Rian memang sudah terbiasa dengan semua olokan,
ejekan, hinaan dan apapun itu namanya.
Buktinya ia hampir setiap hari berkelahi dengan para
remaja di tempat ini. Bukan karena ia mau, ia cuma tak terima saat mereka mulai
melanjutkan ejekan itu.
“APA!? ANAK HARAM KATAMU!?” teriak yang satunya.
“Ya, ibunya adalah budak bangsawan. Ia di hamili dan
kemudian diusir. Kemudian lahirlah anak haram itu!!” balas remaja lainnya
sambil menunjuk Rian.
Tak ada lemparan batu.
“Maksudmu, ibunya adalah pelacur?” tanya remaja
satunya.
~Sudah cukup, itu sudah keterlaluan.
Rian berhenti melangkah.
“Sudah Rian, tak perlu pedulikan mereka. Mereka tak tau
apa-apa” ucap Erik, berusaha menghentikan Rian melakukan tindakan selanjutnya.
Rian tak peduli dengan perkataan Erik. Dia tau, mereka
memang tak tau apa-apa mengenai ibunya.
Tapi itu alasan kenapa ia semarah ini.
Manusia selalu memiliki batasan. Begitu juga dengan
kesabarannya. Dan jangan pernah menguji kesabaran seseorang.
“Kalian boleh mengatakan apapun mengenaiku, tapi tidak
dengan ibuku.” ucap Rian pelan, pastinya dua remaja itu mendengarnya.
Mereka tertawa melihat Rian yang terpancing, rencana
mereka berhasil. Mereka bosan dengan reaksi Rian selama ini.
Dengan cepat Rian berbalik, berlari kearah dua remaja
itu. Dia sudah mengepal tangannya kuat, bersiap meninju mereka.
“ARGHH!!”
Langkah Rian terhenti di tengah jalan, mengenali suara
itu. Ia menengok kebelakang.
Erik terkulai dibawah.
Beberapa remaja lainnya membawa balok kayu berdiri
disekitar Erik. Kepala Erik sedikit mengeluarkan darah.
Sepertinya para remaja itu tadi bersembunyi dan keluar
saat Erik sendiri.
“Aku tau kau pribumi, tapi semenjak kau berhubungan
dengan anak haram itu. Kau tak jauh beda dengannya.” ucap seseorang diantara
mereka sambil menendang tubuh Erik.
Tangan kiri Erik memegang erat tasnya, sedang tangan
kirinya memegang kepalanya yang sakit. Ia tak bisa bertahan dari pukulan balok
kayu tadi.
~Padahal tinggal beberapa meter lagi.
“CUKUP!!” teriak Rian.
*Dak*
Remaja dibelakangnya melempar batu lagi. Rian
benar-benar tak bisa menahan amarahnya lagi.
Tiba-tiba, entah ada yang merasukinya. Rian dengan
cepat balik badan, melangkah maju. Meninju remaja yang melempar batu padanya,
tepat diwajahnya
*DHUAK!!*
Keras, kuat dan cepat.
Pukulan Rian membuat remaja itu babak belur. Lebih
tepatnya, wajahnya hancur. Diikuti tubuhnya terpental kedalam gedung tua,
menghancurkan dinding dengan mudahnya.
Sekejap, tidak ada yang bereaksi. Sedetik kemudian,
semua remaja itu berlarian menyerang Rian. Mereka bukan takut atau kabur.
Mereka mendekati Rian. Tidak terima teman mereka dihajar Rian.
Remaja lainnya yang melihat Rian saat itu, gemetar
ketakutan.
“Di…di-dia, bukan manusia.” ucapnya sambil kabur.
~BUNUH
Dengan amarah tinggi itu, Rian tidak membiarkannya.
Entah bagaimana, Rian sudah ada didepan remaja yang hendak kabur.
Dia menggengam wajah remaja itu, dengan satu tangan.
Mendorongnya ketanah. Wajah remaja itu ikut hancur, disertai
getaran kecil saat menghantam tanah.
Remaja lainnya yang melihat itu langsung diam. Tak
percaya, kaget, takut dan segala perasaan itu bercampur.
“Se…se-setan!!” teriak salah satu remaja.
Mata Rian berubah warna. Merah seperti darah. Warna
rambutnya pun sama, menjadi merah kehitaman.
“Tidak, i-itu IBLIS!!” teriak yang lainnya.
Rian mendekati mereka dengan pelan.
Tubuh mereka tak bisa digerakkan. Keringat dingin
keluar cepat saat mereka gemetar.
Saat manusia terdesak, biasanya pikiran mereka akan
berjalan lebih cepat. Para remaja itu mengalaminya saat ini, mereka dengan
cepat mencerna sebuah cerita.
Cerita yang me-legenda. Dongeng yang diceritakan orang
tua mereka. Cerita mengenai Iblis dan Sang Pahlawan. Itu bukan dongeng, itu
kisah nyata.
Karena Rian adalah buktinya.
“MATI” ucap Rian dengan senyum jahatnya.
Seketika Rian dengan cepat menghajar mereka. Semuanya tergeletak
dibawah, serangan Rian terlampau kuat. Mereka tak mampu berdiri lagi.
“Hentikan!! Rian, apa yang kau lakukan!?”
Rian melihat seorang wanita paruh baya. Berdiri tegak
di samping Erik. Rian menatap cermat wanita itu. Merasakan ada ancaman yang akan
datang. Segera tanpa ragu, dia maju. Amarah sudah mengendalikannya. Dia
menyerang wanita itu dengan pukulan kuatnya, tepat di wajah.
Tangan wanita itu menahan pukulan Rian. Mengetahui
itu, Rian segera mundur. Firasat nya benar, wanita itu adalah ancaman. Dia
memperhatikan sekeliling dengan buru-buru.
“Kau berani menyerangku?” tanya wanita itu.
Rian tetap tidak menjawab. Dia seperti mencari
sesuatu, kepalanya terus menengok kanan-kiri.
Wanita itu dengan seksama memperhatikan Rian. Rambut
dan mata itu, dia mengingatnya. Tentu, dia tak akan pernah lupa. Dan dia tidak
punya pilihan lagi. Rian sudah hilang kendali. Dia tahu, diumur Rian saat ini.
Emosinya sedang tidak stabil, pantas kekuatan itu muncul. Kekuatan yang telah
merenggut banyak nyawa. Kekuatan terkutuk yang sudah menyengsarakan dunia ini.
Wanita itu tersenyum sebentar. Mudah baginya melawan
Rian untuk saat ini. Rian masih belum bisa mengendalikan kekuatannya.
“Kalau begitu, mari kita bermain” ucap wanita itu,
sambil maju menyerang Rian.
Rian terdorong mundur, dia tidak terjatuh. Tapi
serangan wanita itu cukup membuatnya goyah. Manusia biasa tidak mungkin bisa
memukul seperti itu. Apalagi seorang wanita sepertinya.
“Kenapa dengan wajahmu? Kau kaget?” tanya wanita itu,
Rian masih tidak menjawab. “Kuberitahu saja, bukan hanya kau yang punya
kekuatan. Dunia yang kau tahu itu masih kecil. Semua manusia punya kekuatan,
tapi kebanyakannya tidak menyadarinya. Apalagi di keadaan dunia saat ini, para
penduduk jajahan pasti sudah di doktrin untuk tidak mempercayai adanya kekuatan
seperti ini.” tambahnya.
Aura merah mulai mengelilingi wanita itu. Terlihat
samar-samar. Tapi terlihat urat tubuhnya seperti menguat.
“Kekuatan seperti ini disebut Berserk, kekuatan amukan
yang meningkatkan power dan kemampuan yang dimiliki. Berkali-kali lipat.”
Wanita itu dengan cepat menyerang Rian kembali. Rian
berusaha menghindari semua serangannya. Dia diserang bertubi-tubi. Wanita itu
tidak berhenti, terus menyerang Rian tanpa ampun. Rian tak punya kesempatan
untuk menyerang. Dia hanya bertahan.
Senyuman Rian menghentikan jeda serangan wanita itu.
Kemudian, wanita itu terlempar menjauhi Rian. Tiba-tiba saja, aura merah juga
keluar dari tubuh Rian. Sama seperti wanita itu. Dan serangan tadi, cukup membuat
wanita itu sulit berdiri.
‘Teng-Teng-Teng’
‘Pengumuman, jam malam akan segera diberlakukan.
Diharap bagi yang masih diluar untuk segera kembali ke rumah masing-masing.
Kami tidak menyarankan untuk keluar saat jam malam. Segala yang terjadi saat
jam malam, menjadi tanggung jawab anda sendiri. Terima kasih.’
Hari itu mulai gelap. Pengumuman jam malam itu sudah
cukup membuat pribumi segera ke rumahnya masing-masing.
Rian masih menatap wanita itu. hening, sejenak tak ada
yang bergerak.
“Rian!” wanita itu berteriak.
Aura merah menghilang dari tubuh Rian. Penglihatannya
mulai kabur, tubuhnya sudah lemas. Dia terjatuh ditempat, pingsan begitu saja.
Melihat itu, aura ditubuh wanita itu juga menghilang.
Dia mendekati Rian.
‘Kekuatan itu sudah bangkit’ ucapnya dalam hati.
Komentar
Posting Komentar