Prolog - Not Love, Because of Love?
Prolog
Seorang pemuda terdiam
menatap gadis di depan nya.
“Maaf! ucap Gadis tersebut, sambil berjalan menjauh
meninggalkan Pemuda itu dengan sebuah luka yang tidak mengeluarkan darah, namun
sebuah tangisan.
“Sudah selesai, apa
semuanya berakhir di sini?” Tanya Pemuda itu, tanpa sadar air mata jatuh begitu
saja.
Di kejauhan, Gadis tersebut
berdiri di balik sebuah pohon mengintip ke arah Pemuda itu, sambil menutup mulut dengan tangan
kanannya menahan isakan tangis yang bisa meledak kapan saja, karena melihat
seseorang yang begitu ia sayangi menangis.
Keputusan yang menyakitkan,
dua hati dengan cinta pada satu sama lainnya namun, dalam sebuah hubungan yang
seharusnya tidak mereka jalani.
Pemuda itu berhenti
menulis, melipat kertas tersebut lalu memasukannya ke dalam sebuah kotak, dan menyimpan kotak itu di
bawah tempat tidurnya.
Menghela napas beberapa kali,
saat kenangan itu kembali menyimpan kotak itu di bawah tempat tidurnya beberapa
menit sebelum acara di mulai. Setelah ijab qobul pemuda itu pergi ke kamar dan
mengambil sebuah kotak yang sudah berada di sana kurang lebih 3 tahun lamanya.
Seorang gadis menatap
sekeliling nya lalu beralih menatap langit sambil berkata, “Hari yang cerah”
Gadis tersebut berdiri
membelakangi pemuda itu membuatnya menghela napas sebelum memanggil gadis itu.
“Hei!” gadis tersebut berbalik
sambil memaksakan sebuah senyuman, walaupun hanya sebuah senyuman yang terkesan
kaku.
“Hai juga”
“Ini!” ucap pemuda itu sambil
menyerahkan sebuah buku bersampul biru
yang pernah di berikan oleh gadis itu pada adiknya.
“Oh, darinya?” tanya gadis itu
sambil mengambil buku tersebut, pemuda itu mengangguk
pelan tanpa ekspresi.
“Terimakasih atas semuanya,
kamu mau kemana setelah acara ini?” tanya pemuda itu.
“Mengunjungi teman”
“Dia?” gadis itu mengangguk
sambil menatap kedua mempelai di atas pelaminan, pemuda itu menghela napas.
“Hati-hati ya?” pesan pemuda itu,
dan membuat mereka saling bertatapan.
Pemuda itu menarik tangan
kanan gadis itu sambil meletakkan sebuah kotak berwarna biru yang sejak tadi ia
sembunyikan di belakang punggungnya. Gadis itu menatap kotak di tangannya
dengan tatapan bingung.
“Ini apa?” sambil hendak
membuka kotak tersebut
tapi, langsung di hentikan olehnya.
“Di bukanya jangan di sini
tapi nanti pas ulang tahun kamu yang ke-20 tahun” cegah pemuda itu. Gadis itu
mengaguk, keduanya saling
melemparkan senyuman yang terlihat sedikit
kaku.
Di kejauhan seorang pemuda
menatap kedua insan itu, mengingatkannya akan sebuah kenangan.
Seorang pemuda terdiam sambil memandangi sebuah buku
di tangannya.
“Hei!” tegur seorang Gadis yang baru saja sampai,
Pemuda tersebut melirik Sang Gadis lalu menyerahkan buku yang sejak tadi ia
pegang.
“Buku apa ini?” Tanya Sang Gadis, sambil meneliti
sampul buku tersebut kemudian menatap Pemuda itu.
“Kamu akan mengerti setelah membacanya” ucap Pemuda
itu lalu beranjak dari posisinya untuk pergi.
“Tunggu kamu siapa?” Tanya Sang Gadis, Pemuda itu
berhenti tanpa berbalik lalu berkata, “siapa aku mungkin kamu tidak akan
mengingatnya, walaupun aku memberi tahu siapa aku sebenarnya, tapi aku akan
selalu mengingat mu, walaupun hati ini tersakiti, karena hanya bisa mencintai
dalam diam, seperti sunyinya pegunungan!” lalu melangkah menjauh membuat Sang
Gadis di penuhi berbagai pertanyaan.
Aku bisa melihat
mu, tapi tak bisa menggapai mu
Aku bisa berada di
dekat mu, namun tak bisa bersama mu
Tak jauh berbeda gadis di
sampingnya ikut menatap ke arah kedua insan itu dengan sebuah kenangan yang sama.
Gadis itu kembali ke rumahnya
dengan sebuah buku dari pemuda yang tadi ia temui, ia menyimpan buku itu ke
tempat yang biasanya di isi oleh buku milik sahabatnya, saat tengah menginap. Sambil bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia
lupakan?
Mobil milik Tifa berhenti saat lampu merah menyala, Tifa tersenyum kecil
mengingat hari-hari itu. Hari di mana ia merasa dunia nya kembali berwarna.
Mobil Tifa kembali melaju saat lampu berubah
menjadi hijau, ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
“Assalamualaikum, iya ini sudah hampir sampai,
nanti aku kabarin kalau sudah sampai ke belokan itu” ucap Tifa lalu memutuskan
sambungan telpon itu. Mobil Tifa berbelok ke kiri saat terlihat sebuah papan
penunjuk arah yang bertuliskan Suryalaya, hari ini Tifa akan mengunjungi teman
yang dua hari lagi akan menikah dengan salah satu sahabatnya.
Temanya itu tinggal di Kota Tasikmalaya di
sebuah desa bernama Pageurageung, Tifa segera mengambil ponselnya begitu ia
sampai di masjid besar Pageurageng. Latifa, begitulah Tifa memanggilnya.
“Assalamualaikum fah, ini aku sudah sampai”
lalu memarkirkan mobilnya di dekat parkiran motor, setelah mematikan mesinnya
kemudia keluar dan menunggu Latifa yang akan menjemputnya.
Tak beberapa lama, sebuah sepedah motor datang
mendekat dengan Latifa yang mengendarainya. Dengan memakai gamis berwarna biru
dan hijab berwarna putih berpolet biru. Latifa berhenti tepat di depan Tifa,
kemudain turun menghampiri sahabatnya itu.
“Subhannalloh, kamu makin cantik aja fah” puji
Tifa, dari balik cadarnya Latifa tersenyum
lalu berkata,
“Alhamdulillah” suaranya begitu lembut di
tambah lagi penampilannya yang begitu anggun membuat Tifa terus menatapnya
dengan terkagum-kagum.
Latifa menggelengkan kepalannya pelan saat
melihat sahabatnya itu melamun kemudian menepuk bahunya pelan, Tifa terlihat
sedikit tersentak.
“Astagfirulloh, aku sampai enggak sadar dari
tadi ngeliatin kamu terus” Latifa
tertawa pelan
“Kamu ini fa ada-ada aja, udah akh yuk ke
rumah” ajak Latifa, Tifa mengangguk sambil naik kembali ke mobil sedangkan
Latifa ke motornya.
Latifa memimpin di depan untuk menunjukan
jalan, mereka berbelok ke sebelah kiri melewati sebuah pesantren dan terus
melaju sampai ke sebuah garasi mobil berlantai dua dengan pintu besi berwarna
biru, di seberangnya terdapat sebuah bengkel kecil.
Setelah menggambil tas dan mengunci mobilnya,
Tifa menghampitri Latifa.
“Dari sini kita naik motor, soalnya mobil kamu
enggak akan muat, jadi di simpan disini saja ya” Tifa mengangguk,
“Emang enggak apa-apa di simpan di sini?”
tanya Tifa yang terlihat cemas
“Tenang Fa, bangunan ini punya keluarga ku, di
jamin aman deh” ucap Latifa, Tifa mengangguk lalu naik ke motor di belakang
Latifa.
Motor itu kembali melaju, kemudian berbelok ke
sebelah kanan tepat di pinggir sebuah toko. Jalan itu luamayan besar, tapi
hanya untuk satu mobil berukuran kecil.
“Enaknya, udara di sini masih segar” Latifa
mengguk sambil membelokkan motornya ke kanan di dekat sebuah masjid, kemudian
kembali berbelok ke sebelah kiri, lalu berbelok ke sebelah kanan sampai ke
sebuah rumah sederhanan berlantai dua.
“Nah, kita sudah sampai” ucap Latifa sambil
memberhentikan motor, Tifa turun dari motor itu barulah Latifa memarkirkan
motornya di dekat sebuah pohon.
Tifa mengamati rumah itu dengan seksama, rumah yang
terlihat sederhana, campuran antara Tradisional dan Moderen.
“Ayo, masuk”
ajak Latifa, Tifa mengngguk lalu masuk ke rumah tersebut. Saat ia
memasuki rumah itu yang teryata sederhana di luar namun, wah di dalamnya. Dengan pemandangan
pegunungan juga sawah yang membentang di sekeliling rumah tersebut membuat suasana begitu nyaman, sejuk, dan tenang.
“Rumah kamu nyaman banget” puji Tifa sambil
duduk di lantai papan, lantai dua rumah itu.
“Alhamdulillah, kamu bisa tidur di kamar
aku untuk beberapa hari ini” Tifa mengangguk sambil
menikmati pemandangan di sekitarnya.
Tifa menghela napas mengingat sikap seorang
pemuda yang selalu saja mengganggu pikirannya itu.
“Cie...nikah” celetuk Tifa, Latifa menunduk
malu
“Apaan sih, kamu kapan nyusul?” tanya Latifa
salting, Tifa mengangkat bahunya
“Calonnya aja belum ada fah” Latifa mengangguk
lalu beranjak dari posisi duduknya.
“Ayo fa, aku tunjukin kamarnya?” ajak Latifa,
Tifa mengangguk lalu mengikuti Latifa ke sebuah kamar yang tertata rapi dan
terlihat nyaman.
Setelah itu, Latifa pamit untuk turun ke
lantai satu meninggalkan Tifa yang termenung menatap langit-langit kamar
tersebut.
Tifa yang tengah memejamkan matanya,
terbangun oleh ketukan pintu dan suara Latifa yang memanggilnya mengakhiri
sebuah mimpi buruk tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Buru-buru ia
bangun dan membukakan pintu, Latifa tersenyum mendapati temanya itu tertidur
karena kelelahan.
“Maaf Fah, aku ketiduran” Latifa
menggeleng
“Enggak apa-apa kok, pasti cape ya,
maaf aku bangunin soalnya udah mau magrib enggak baik tidur jam segini” Tifa
tersenyum tulus
“Enggak kok, makasih udah di
bangunin” Latifa mengangguk lalu membawa Tifa turun ke lantai satu untuk shalat
berjamaah.
Setelah shalat berjamaah
“Fa, aku masih penasaran soal cerita
kamu tentang Mila waktu itu?” Tifa menghela napas lalu tersenyum tipis.
“Semuanya berawal dari hari itu”
Beberapa tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di kelas tiga SMA
semester terakhir dengan Mila yang mulai
penasaraan akan sikap kedua Kakaknya dan Tifa yang terlihat sedikit aneh. Dan
sering bertengkar tanpa alasan yang jelas bagi Mila.
Komentar
Posting Komentar