Chapter 1 - Not Love, Because of Love?
1
Mobil milik Tifa berhenti saat lampu merah menyala, Tifa tersenyum kecil
mengingat hari-hari itu. Hari di mana ia merasa dunia nya kembali berwarna.
Mobil Tifa kembali melaju saat lampu berubah
menjadi hijau, ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
“Assalamualaikum, iya ini sudah hampir sampai,
nanti aku kabarin kalau sudah sampai ke belokan itu” ucap Tifa lalu memutuskan
sambungan telpon itu. Mobil Tifa berbelok ke kiri saat terlihat sebuah papan
penunjuk arah yang bertuliskan Suryalaya, hari ini Tifa akan mengunjungi teman
yang dua hari lagi akan menikah dengan salah satu sahabatnya.
Temanya itu tinggal di Kota Tasikmalaya di
sebuah desa bernama Pageurageung, Tifa segera mengambil ponselnya begitu ia
sampai di masjid besar Pageurageng. Latifa, begitulah Tifa memanggilnya.
“Assalamualaikum fah, ini aku sudah sampai”
lalu memarkirkan mobilnya di dekat parkiran motor, setelah mematikan mesinnya
kemudia keluar dan menunggu Latifa yang akan menjemputnya.
Tak beberapa lama, sebuah sepedah motor datang
mendekat dengan Latifa yang mengendarainya. Dengan memakai gamis berwarna biru
dan hijab berwarna putih berpolet biru. Latifa berhenti tepat di depan Tifa,
kemudain turun menghampiri sahabatnya itu.
“Subhannalloh, kamu makin cantik aja fah” puji
Tifa, dari balik cadarnya Latifa tersenyum
lalu berkata,
“Alhamdulillah” suaranya begitu lembut di
tambah lagi penampilannya yang begitu anggun membuat Tifa terus menatapnya
dengan terkagum-kagum.
Latifa menggelengkan kepalannya pelan saat
melihat sahabatnya itu melamun kemudian menepuk bahunya pelan, Tifa terlihat
sedikit tersentak.
“Astagfirulloh, aku sampai enggak sadar dari
tadi ngeliatin kamu terus” Latifa
tertawa pelan
“Kamu ini fa ada-ada aja, udah akh yuk ke
rumah” ajak Latifa, Tifa mengangguk sambil naik kembali ke mobil sedangkan
Latifa ke motornya.
Latifa memimpin di depan untuk menunjukan
jalan, mereka berbelok ke sebelah kiri melewati sebuah pesantren dan terus
melaju sampai ke sebuah garasi mobil berlantai dua dengan pintu besi berwarna
biru, di seberangnya terdapat sebuah bengkel kecil.
Setelah menggambil tas dan mengunci mobilnya,
Tifa menghampitri Latifa.
“Dari sini kita naik motor, soalnya mobil kamu
enggak akan muat, jadi di simpan disini saja ya” Tifa mengangguk,
“Emang enggak apa-apa di simpan di sini?”
tanya Tifa yang terlihat cemas
“Tenang Fa, bangunan ini punya keluarga ku, di
jamin aman deh” ucap Latifa, Tifa mengangguk lalu naik ke motor di belakang
Latifa.
Motor itu kembali melaju, kemudian berbelok ke
sebelah kanan tepat di pinggir sebuah toko. Jalan itu luamayan besar, tapi
hanya untuk satu mobil berukuran kecil.
“Enaknya, udara di sini masih segar” Latifa
mengguk sambil membelokkan motornya ke kanan di dekat sebuah masjid, kemudian
kembali berbelok ke sebelah kiri, lalu berbelok ke sebelah kanan sampai ke sebuah
rumah sederhanan berlantai dua.
“Nah, kita sudah sampai” ucap Latifa sambil
memberhentikan motor, Tifa turun dari motor itu barulah Latifa memarkirkan
motornya di dekat sebuah pohon.
Tifa mengamati rumah itu dengan seksama, rumah yang
terlihat sederhana, campuran antara Tradisional dan Moderen.
“Ayo, masuk”
ajak Latifa, Tifa mengngguk lalu masuk ke rumah tersebut. Saat ia
memasuki rumah itu yang teryata sederhana di luar namun, wah di dalamnya. Dengan pemandangan
pegunungan juga sawah yang membentang di sekeliling rumah tersebut membuat suasana begitu nyaman, sejuk, dan tenang.
“Rumah kamu nyaman banget” puji Tifa sambil
duduk di lantai papan, lantai dua rumah itu.
“Alhamdulillah, kamu bisa tidur di kamar
aku untuk beberapa hari ini” Tifa mengangguk sambil
menikmati pemandangan di sekitarnya.
Tifa menghela napas mengingat sikap seorang
pemuda yang selalu saja mengganggu pikirannya itu.
“Cie...nikah” celetuk Tifa, Latifa menunduk
malu
“Apaan sih, kamu kapan nyusul?” tanya Latifa
salting, Tifa mengangkat bahunya
“Calonnya aja belum ada fah” Latifa mengangguk
lalu beranjak dari posisi duduknya.
“Ayo fa, aku tunjukin kamarnya?” ajak Latifa,
Tifa mengangguk lalu mengikuti Latifa ke sebuah kamar yang tertata rapi dan
terlihat nyaman.
Setelah itu, Latifa pamit untuk turun ke
lantai satu meninggalkan Tifa yang termenung menatap langit-langit kamar tersebut.
Tifa yang tengah memejamkan matanya,
terbangun oleh ketukan pintu dan suara Latifa yang memanggilnya mengakhiri
sebuah mimpi buruk tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Buru-buru ia
bangun dan membukakan pintu, Latifa tersenyum mendapati temanya itu tertidur
karena kelelahan.
“Maaf Fah, aku ketiduran” Latifa
menggeleng
“Enggak apa-apa kok, pasti cape ya,
maaf aku bangunin soalnya udah mau magrib enggak baik tidur jam segini” Tifa
tersenyum tulus
“Enggak kok, makasih udah di
bangunin” Latifa mengangguk lalu membawa Tifa turun ke lantai satu untuk shalat
berjamaah.
Setelah shalat berjamaah
“Fa, aku masih penasaran soal cerita
kamu tentang Mila waktu itu?” Tifa menghela napas lalu tersenyum tipis.
“Semuanya berawal dari hari itu”
Beberapa tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di kels tiga sma
semester terakhir dengan Mila yang mulai
penasaraan akan sikap kedua Kakaknya dan Tifa yang terlihat sedikit aneh. Dan
sering bertengkar tanpa alasan yang jelas bagi Mila.
Komentar
Posting Komentar